Selasa, 01 Desember 2009

Komunikasi Pengasuhan Anak

Seorang ibu menangis terisak, ia menceritakan anak lelakinya yang tertangkap basah oleh guru BP menyimpan video porno di hapenya. Seorang anak yang selama ini begitu manis dan santun dan baru berusia 14 tahun. “apa yang salah dengan saya? Saya sudah berusaha jadi ibu yang baik, saya sekolahkan dia di sekolah swasta agamis yang bagus, saya penuhi segala kebutuhannya!..”, Isaknya.

Bunda tercinta, bagaimana reaksi kita bila itu terjadi pada anak kita? Marah, kecewa, sedih dan bahkan shock adalah reaksi yang mungkin kita alami. Tidak ada yang lebih menyedihkan selain melihat hasil usaha kita (anak) tumbuh menjadi pribadi yang jauh dari harapan. Padahal, menurut kita tidak ada yang salah dengan pengasuhan dan pendidikan di rumah. Benarkah begitu?

Pengasuhan adalah kebiasaan-kebiasaan yang meninggalkan kesan baik dan memberikan kenyamanan bagi diri. Seorang anak yang dibesarkan dengan kelimpahan materi, segala keinginannya selalu dipenuhi, akan menganggap bahwa seperti itulah hidup ini. Ketika lingkungan meresponsnya dengan tidak sesuai harapan, si anak akan menganggap lingkunganlah yang salah. Atau bila anak itu dibesarkan oleh keluarga dari suku tertentu yang intonasi suaranya selalu tinggi, dia tetap nyaman dengan ‘kelantangannya’ dimanapun berada.

Menjadi orang tua adalah fitrah, secara otomatis kita akan dipanggil ayah atau ibu ketika kita dititipi amanah seorang anak oleh Allah. Seiring waktu berjalan, mereka tumbuh dan berkembang. Orang tua memiliki harapan-harapan yang menurutnya dan lingkungan baik. Berbekal ilmu pengasuhan yang diperoleh secara turun temurun, mereka memperlakukan anak mereka. Orang tua membuat peraturan-peraturan untuk mendidik anaknya. “Pulang sekolah langsung ke rumah, PR jangan lupa dikerjain, abis main dirapihkan lagi,main PS jangan lama-lama” dan seterusnya. Biasanya yang terjadi adalah anak berkata (dalam hatinya): “saya tidak mau disuruh-suruh!”. Dari sinilah berawal perjuangan tanpa akhir bermula.

Ketika Bobi (5 thn) meminta sesuatu sambil menghentak-hentakkan kaki, biasanya ibu akan berkata, “mau kamu apa sih,ibu kan sudah bilang iya!”.Semakin tinggi intonasi suara ibu, makin heboh hentakannya, atau malah Bobi menjadi tantrum. Mereka pun berselisih, meninggalkan perasaan tertekan atau stress satu sama lain. Sebenarnya mekanisme psikologis apa yang sedang terjadi di sini?. Si ibu mendengar Bobi dengan telinganya, bukan dengan mata dan hati. Padahal untuk menolong anak mengubah tingkah lakunya, ibu harus memahami mengapa Bobi bertindak seperti itu sehingga ibu dapat menangani situasi tersebut. Pernahkah ibu menerjemahkan hentakan kaki Boby sebagai ”saya sedang kesal,perhatikan saya! Katakan sesuatu pada saya!”.

Keterampilan menerjemahkan inilah titik kunci untuk merangsang anak bertindak secara tepat sehingga akhirnya bisa diajak bekerja sama. Ibu harus peka menangkap mekanisme psikologis yang terjadi dalam diri anak. Dalam pelatihan inilah kita dilatih untuk menangkap perasaan anak, sedang sedihkah ia, marah, kecewa, kesal,gembira atau lain sebagainya. Cara kita berbicara atau berkomunikasi dibenahi supaya kebutuhan dasar si anak terpenuhi. Bila anak merasa perasaannya diterima oleh orang tuanya, dia akan merasa aman dan nyaman untuk berbicara apa saja dengan kita.Bila ini sudah terpenuhi, berbahagialah kita menjadi sahabat anak kelak. Tempat mereka mencurahkan segala perasaan, berbagi rahasia dan menjadi tempat mereka kembali bila menghadapi tantangan agresi lingkungan yang bisa membuatnya tertekan, baik agresi fisik maupun agresi verbal.

Hal ini bisa tercapai bila ada kenyamanan dan keamanan di dalam rumah. Mana ada atmosfer kenyamanan bila anak baru saja masuk rumah, si ibu sudah siap dengan jurusnya, “itu tas jangan taruh sembarangan”,”ganti baju dulu, makan, baru boleh megang komputer”,”awas ya kalo kamu bohong”,”kan udah ibu bilang”, “masa begini aja ga bisa sih”,”tumben nih anak ibu rajin, biasanya...”, dan berbagai gaya populer lainnya. Sadar atau tidak, gaya-gaya pengasuhan model ini hanya membuat jarak antara kita dan anak.Memerintah, meremehkan,menyalahkan,membandingkan,menyindir, menasihati adalah sebagian dari gaya yang harus kita hilangkan. Alih-alih memotivasi anak berbuat baik, kita malah membuatnya merasa tidak dihargai dan disayang. Atau malah kita terlalu overprotective pada anak sehingga membuat dirinya merasa tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan orang tuanya.

Padahal anak yang mandiri, dalam artian cukup bertanggung jawab dalam mengurus dan memecahkan masalahnya sendiri akan tumbuh jadi anak dengan kepercayaan diri yang besar. Hal ini tidak didapat bila kita tidak membiasakan anak untuk memilah-milah masalah, masalah anak atau bukan. Ingat bahwa orang tua bukanlah “super problem solver” , ini berarti bahwa siapa yang memiliki masalah, dialah yang bertanggung jawab menyelesaikan masalahnya. Seringkali orang tua mengambil alih masalah anaknya, bahkan sampai mencari pekerjaan pun jadi masalah orang tua. Mereka sibuk mencari teman atau saudara yang bisa “dititipi” anaknya. Ketika anak menangis karena mainannya hilang disebabkan ia lupa membereskan, orang tua pun sibuk mencari dan biasanya sambil menggunakan gaya populer.

Bila anak berada dalam masalah yang kira-kira tidak mengganggu privasi orang tua, tidak mengganggu keselamatan diri dan orang lain, maka orang tua hanya berfungsi sebagai fasilitator. Jadilah pendengar aktif yang selalu terbuka terhadap perasaan anak, bantu dia untuk mengenali, menerima, mengerti dan sadar akan perasaannya sendiri, lakukan kontak mata. Jangan ada pretensi apapun pada anak dan biarkan ia mengambil keputusannya sendiri. Selain mengakrabkan hubungan orang tua dan anak, cara ini memberikan pengalaman menyenangkan dan mendorong anak terbuka dalam hal apapun pada orang tua.

Tetapi bila 3 syarat di atas ada yang tidak terpenuhi, misalnya sudah ada kesepakatan antara ortu dan anak soal jam nonton televisi tapi kemudian si anak berusaha untuk melanggarnya. Pada saat inilah menjadi masalah orang tua. Nyatakan perasaan orang tua akan perilaku anak tersebut, jelaskan kepada dia alasannya. Ingatkan anak akan perjanjian yang sudah dibuat. Orang tua harus mengutarakan bahwa yang tidak disukai adalah perilaku anaknya, bukan pribadinya. Penyampaiannya pun dilandasi kasih, tegas tapi tidak juga merusak perasaan dan harga diri anak. ”kamu memang gak pernah nurut”, atau ” sudah berapa kali ibu bilangin..”, adalah kalimat-kalimat penghambat dalam menyampaikan pesan ke anak. Hanya akan membuat anak merasa dirinya selalu salah sehingga tumbuh dendam dan benci dalam dirinya.

Positive feeling menimbulkan positive thinking, begitupun sebaliknya. Anak-anak dengan pikiran positif akan berlaku sesuai aturan diri dan lingkungan. Proses perpindahan energi positif ini didapat melalui komunikasi yang berlangsung terus menerus, semenjak ia dilahirkan. Dan hanya jika kita berbicara dengan mereka, bukan kepada mereka.

Ditulis oleh :Nina Alfa Rizkana

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites